Pages

Senin, 02 September 2013

Growing Up and Growing Old


Impian. Kenyataan.
Apakah keduanya bermusuhan?

Ini tentang diriku, juga tentang kedua orang tuaku. Aku yang semakin hari merasa semakin dewasa, seringkali lupa dengan orang tua yang semakin hari semakin tua. Aku yang semakin hari semakin merasa mampu hidup berkeluarga, seringkali lupa dengan orang tua yang semakin hari semakin merasa takut kehilangan putrinya.

Menjadi kebiasaan umi (ibu) untuk bercerita panjang lebar tentang apa-apa yang beliau rasakan, termasuk tentang kehidupan beliau nanti ketika aku, kakakku dan adikku sudah berkeluarga. Meninggalkan umi dan abi (ayah) untuk membina rumah tangga, menapaki jenjang kehidupan yang lebih tinggi layaknya orang-orang pada umumnya. Memperoleh status yang kian menumpuk dari masa ke masa.

Dan, tiap jenjang kehidupan selalu ada konsekuensinya. Selalu mengambil satu bahagia, kemudian menggantinya dengan bahagia lain.

Umi sering berujar "nanti umi tinggal sama siapa kalo udah pada berkeluarga?" atau "nanti calonnya jangan jauh-jauh ya, cari yang di jogja aja, paling jauh solo" atau "umi mau bikin yayasan panti jompo ah, biar para orang tua yang udah sepuh punya temen buat cerita-cerita".

Biasanya, kalimat-kalimat tersebut kutanggapi dengan 2 cara:
Pertama, kujawab dengan nada ceria bahwa beliau tak perlu khawatir, kelak aku akan sering mengunjungi beliau, menemani masa tua beliau hingga beliau tak merasa kesepian.
Yang kedua, kujawab dengan.......diam.

Menjadi kebiasaanku untuk mencoba memahami kondisi dari dua sisi. Ini bisa jadi baik, bisa jadi buruk. Baik karena kebiasaan ini menjadi "rem" bagiku untuk tidak memaksakan kehendak pribadiku. Buruk karena kebiasaan ini membuat otakku lelah memikirkan bagaimana caranya agar orang lain bisa bahagia dan tidak kesusahan oleh sebab kehendak pribadiku. Susah, ya? Serasa punya dua sisi pikiran yang saling berseberangan.

Dari dulu, menikah di usia muda menjadi impianku. Bukan karena emosi sesaat maupun ikut-ikutan trend, tapi murni impianku. Berkeluarga di usia muda (umur 22 atau 23 tahun) bagiku akan sangat memudahkanku sebagai seorang istri, juga sebagai seorang ibu nantinya. Menjalani masa-masa pacaran dengan suami setelah menikah, bersama-sama mengusahakan kesejahteraan keluarga, hingga mengganjilkan bilangan dengan hadirnya malaikat kecil di pangkuan.
Pun terhadap calon imamku, tak ada keinginanku untuk memberi syarat harus punya ini, punya itu, atau fisiknya harus begini dan begitu. Bagiku, "punya ini, punya itu" adalah urusan duniawi. Semua yang bersifat dunia bisa dicari, bisa diusahakan, asalkan ada kemauan yang besar. Apalagi fisik yang begini dan begitu. Fisik tak ubahnya casing yang hanya tampak kasat mata, jauh lebih rendah nilainya dari onderdil berupa keimanan dan kepribadian.

Simpel? Ya, sesimpel itu jika niat menikah merujuk pada satu kata: ibadah.

Banyak komentar dari teman-teman seumuran saat membicarakan topik ini. Masih muda emosi masih labil jadi rawan cerai, masih muda udah nikah pasti jadi nggak bebas kemana-kemana, masih muda udah nikah nanti mau makan apa, dan banyak komentar lainnya.
Yah, orang bebas berkomentar, sama halnya bagiku yang bebas menentukan pilihan.

Tapi, di saat orang tua yang mempertanyakan bagaimana kehidupan mereka setelah nanti kutinggal berkeluarga, rasa-rasanya impian menikah di usia muda menguap seketika. Aku masih ingin membersamai mereka, melihat mereka tertawa, menjadi pendengar setia segala cerita gembira dan keluh kesah tentang rekan kantor yang menjengkelkan, menjadi segalanya yang mereka mau.

Ah, mungkin aku hanya terlalu berlebihan menanggapi proses kehidupan.
Mungkin juga ini pertanda aku harus menyerahkan segalanya pada waktu: Mengalir, tanpa pikiran-pikiran yang hanya membuatku berantakan.

Selasa, 20 Agustus 2013

Perindu


Pada ketinggian langit yang bertuankan Tuhan
Ribuan kata kugantungkan
Di tiap gulungan awan yang kau lihat saat fajar datang

Pada kedalaman laut yang bertuankan Tuhan
Ribuan kata kutenggelamkan
Di tiap buih yang menyeruak ke permukaan

Tengok pula sejenak ke belakang
Ribuan kata kujejalkan
Di tiap jejak yang kau pijak menuju entah kemana

Aku, seorang perindu
Yang sebegitu takut mengucap rindu


"Roger"

Masih berlatar KKN, hari ke-49. Well, kali ini aku akan bercerita tentang seorang bocil (bocah kecil) di lokasi KKN. Namanya Wanto, kelas 5 SD (atau 6? entahlah).
Kenapa bocil satu ini sampai kutulis disini? Simply because I don't have a special thing to tell, haha.

Jadi, Wanto ini menjadi Bolang (Bocah Petualang) saat tim variety show Si Bolang menyambangi desa wisata Ketenger. Saat itu, Wanto berkeliling menjelajahi tempat-tempat alam yang indah di Ketenger untuk keperluan syuting dan ia dibayar tiga ratus ribu rupiah. Saat salah seorang teman KKN bertanya untuk apa uang yang didapatnya itu, ia menjawab "buat main PS". Yah, namanya juga bocil.

Menurutku, sebagai anak SD, pemikiran Wanto bisa dibilang cukup dewasa. Diskusi dengan Wanto lebih "nyambung" dibanding dengan bocil-bocil lain disini. Dia juga sering memberikan informasi penting mengenai desa Ketenger. Helpful.

Tapi tapi tapi, akhir-akhir ini ia menjadi sangat menyebalkan. Diskusi sudah tak se-menyenangkan sebelumnya, dan yang lebih menyebalkan lagi, sikapnya memburuk. Datang ke pondokan KKN tak kenal waktu, dari pagi hingga malam. Pernah beberapa kali ibunya datang ke pondokan dan menyuruhnya pulang. Juga, ia "nyolot" dengan kami anak-anak KKN. Juga, seringkali ia nimbrung makan di pondokan. Fyi, untuk keperluan makan, kita harus pandai-pandai memutar otak agar keuangan kas cukup untuk memenuhi kebutuhan pondokan seperti makan dan peralatan pondokan, juga untuk keperluan program KKN. Hmmm, fyi lagi, aku bendaharanya :|

Jadi, untuk mengatasi bocil satu ini yang kerap sembarangan nyomotin makanan di pondokan sampai beberapa teman KKN nggak kebagian, jadilah kita menamai bocil ini dengan sebutan "roger". Biasanya, kata "roger" digunakan untuk berkomunikasi antar dua orang. Hasil googling dari http://1014rapi.wordpress.com/2012/04/16/arti-kata-roger-dan-asal-muasalnya/, aku menemukan bahwa "roger" diartikan sebagai “I have received all of the last transmission” dalam terminologi komunikasi radio. Dan untuk keperluan komunikasi di pondokan KKN, kami mengartikannya sebagai "I have received the information that 'that kid' is coming". Hahaha.

Jadi, mulai sekarang, tiap ada yang berkata "roger!" kita akan bergegas ke dapur mengamankan makanan.....di atas lemari makanan. Yeah, mencegah lebih baik daripada mengobati, kan? :))))

Rabu, 14 Agustus 2013

Ini Lebaranku, Mana Lebaranmu?


Sedikit cerita tentang momen lebaran
Yang kulalui bersama mereka yang berbeda

Jadi, lebaran kali ini adalah lebaran yang amat berkesan (atau menyedihkan?) bagiku. Aku melewati lebaran pertama tanpa keluarga. Nggak ada mereka-mereka yang menjadi alasanku merindui rumah. Nggak ada mereka-mereka yang membuatku bersimpuh mohon diberi umur panjang demi selalu bersama.

Dengan jatah cuti KKN selama 5 hari, nggak mungkin aku bisa menggunakannya untuk merayakan lebaran bersama keluarga. Kenapa nggak bisa? keluargaku mudik ke Bangka, ke rumah kakek dan nenek selama... seminggu lebih. Jadilah aku pasrah berlebaran di tempat KKN.

Dari 10 orang  penghuni pondokan KKN, ada 6 orang yang sholat Ied di lapangan desa, sisanya mudik.
Pagi-pagi jam 7, udah rapi jali mau berangkat ke lapangan, di depan pondokan aku jatuh dengan (nggak) anggun. Untungnya bajuku nggak robek, cuma luka-luka di dengkul dan nyeri di tangan. Ya, cuma.

Jarak antara pondokan ke lapangan sebenernya nggak terlalu jauh, tapi dengan keadaan dengkul yang luka begini, yah... tau sendiri lah gimana rasanya :|

Ternyata, pelaksanaan sholat Ied disini nggak berbeda jauh dengan pelaksanaan sholat Ied di Jogja maupun di Bangka. Cuma bedanya, saat sujud, kakiku agak ndlosor karena... dengkulku sakit. Ya, itu bedanya.

Selesai sholat Ied, ada acara salam-salaman sama semua warga yang hadir disana. Bisa bayangin gimana pegelnya berdiri buat salam-salaman satu kampung dengan dengkul yang nyut-nyutan?
Ah, aku baru sadar apa maksud penceramahnya tadi menyampaikan materi tentang penghapusan dosa kepada mereka yang saling berjabat tangan. Ya, supaya kita sabar berdiri pas salam-salaman.

Selesai acara salam-salaman, kita kembali ke pondokan. Aku telpon orangtuaku dan, yah, nangis. Kebayang banget gimana wajah mereka, sementara aku jauh, nggak bisa sungkem secara langsung. Sedih, aku sedih. Sedih. Sedih. Sedih.

Setelah telpon, masih dalam keadaan mata sembab akibat nangis, aku menyantap opor serta rendang buatan Ibu Rasun, pemilik pondokan. Rasanya enak, suer. Nggak kalah enak sama buatan nenek.

Karena bingung mau ngapain lagi, akhirnya sorenya aku pergi main ke kota bersama temanku, dengan harapan bisa menemukan tempat yang oke buat cuci mata dan cuci perut. Ternyata, hampir semua toko tutup, bahkan mall terbesarnya pun tutup. Jadilah kita nongkrong di mall (atau supermarket?) yang tetap buka di hari lebaran ini.

Yah, intinya, aku bersyukur masih diberi nikmat nafas hingga dapat merayakan lebaran di tahun ini. Meski tanpa keluarga, aku tetap beryukur. Do'aku, semoga puasa kita diterima oleh Allah dan semog kita semua masih diberi kesempatan untuk bertemu Ramadhan di tahun depan, depannya lagi, depannya lagi, lagi dan lagi, entah sampai kapan. Aamiin.
Terakhir, semoga selepas Ramadhan ini, kita dapat menjadi pribadi yang makin baik kedepannya. Aamiin.

Meski udah telat, tapi, selamat berlebaran ya :)

Senin, 29 Juli 2013

Pikirmu Siapa?



Siapa pula yang perduli pada tetes yang menjejaki pipimu itu?
Siapa pula yang perduli pada kesakitan yang katamu tiada obat itu?

Dalam keadaan terburukmu, barulah kau ingat
Bahwa harapmu tak lebih lebar dari kesemua ruas jemari
Bahwa mimpimu tak lebih luas dari jalan yang kau tapaki

Bahwa ada yang lebih perkasa
Bahwa bukan kau penentu segala

Dalam keadaan terburukmu, barulah kau sadar
Bahwa kesyukuranmu begitu samar
Tertutup iba yang kau lambai-lambai

Minggu, 28 Juli 2013

KKN Hari Ke-26

Oke, ini adalah postingan pribadi, dan sebenernya nggak terlalu penting juga untuk dibaca, tapi boleh dong curhat sesekali :p

Belum ada sebulan menjalani KKN, tapi aku udah sering mewek karena kangen. Padahal ini masih setengah jalan, masih ada sekitar sebulan lagi. Kangen keluarga, kangen temen-temen, kangen segalanya tentang kota tercintaku, Yogyakarta.

Anak mama? anak manja? anak rumahan? Yes I am.
Dari jaman belum bisa jalan sampe sekarang umur 21 tahunan, belum pernah hampir sebulan aku jauh dari keluarga. Dulu semester awal kuliah pernah ngekos karena pengen ngerasain mandiri, padahal jarak dari rumah ke kampus nggak sampe setengah jam (oke, udah banyak yang menghinaku  karena ini), tapi pada kenyataannya seminggu sekali atau dua kali pasti pulang ke rumah. Ah, labil kali aku ini :|

Minggu pertama di tempat KKN aku sempet flu, dan umi (panggilanku untuk ibuku) tau lewat suaraku yang serak-serak waktu telponan. Aku berusaha tegar waktu ditelpon, biar umi nggak khawatir. Dan, yah... malemnya aku nangis sambil dikerokin temen sekamar. Wajarlah nangis, namanya juga lagi sakit plus kangen orang rumah... Wajar, kan? Iya, wajar kok.

Minggu kedua aku merasa lebih baik. Kegiatan KKN makin padet, main (bahasa laporannya "observasi") ke berbagai lokasi dan sowan (bahasa laporannya "koordinasi") ke rumah-rumah perangkat Desa. Banyak juga pelaksanaan program mulai dari penyuluhan ini itu sampai pelatihan ini itu. Sejauh ini, alhamdulillah lancar, nggak ada kendala yang berarti.

Ngomongin temen-temen 1 sub-unit, hmmmm... it's okay.
I mean, nggak ada hal-hal yang bikin kita bertengkar hebat, yah walaupun sebel-sebelan satu sama lain karena suatu hal itu pasti ada dan itu... wajar. Selain itu, semuanya menyenangkan. Temen-temenku baik, perhatian satu sama lain (malah bisa dibilang mesra, haha) dan hal-hal bodoh yang dilakukan si ini dan si itu sampai bikin sakit perut karena kebanyakan ketawa. Dan aku patut bersyukur karenanya.

Kemudian, yang paling membahagiakanku disini adalah pertemuanku dengan wajah-wajah polos anak kecil. Dari dulu aku suka anak kecil, meskipun sering dibuat capek karena ditarik-tarik minta ditemenin main atau dibuat sebel karena tingkahnya nyebelin. Tapi, itu wajar. Udah dari sononya anak kecil hobi main dan hobi bikin sebel orang lain, kan? :p

Tapi, gimanapun mereka, tetep aja bikin aku bahagia. Bisa bikin aku lupa untuk bersikap anggun karena heboh main domikado dan ular naga.
Yang kuyakini, memori anak kecil itu luar biasa, pun misalkan mereka tak dapat mengingat siapa saja yang telah membersamai mereka, tapi disadari atau tidak, mereka mendapat banyak pelajaran penting dan akan mempengaruhi masa dewasanya nanti... (ini kenapa jadi serius?)

Intinya, aku berbahagia.
Untuk segala yang telah terjadi selama hampir sebulan ini, untuk segala pelajaran hidup yang kudapat dari sana sini, untuk semua orang yang berada di sekelilingku kini :)


Dimana Aku Dan Kamu?


Ada yang gemar mencoba lagi dan lagi, memberi pengharapan dalam tiap kesempatan, membiarkan rasa bermain-main hingga lelah jemari dan langkahnya, hingga entah kapan.

Ada yang sabar menunggu, menutup segala pintu karena begitu takut mencicipi pahit, terus menunggu, hingga yang paling ideal datang entah dari mana, hingga entah kapan.

Ada yang setia pada do'a dalam tiap sujud malamnya, memberi kesempatan pada setiap yang datang, hingga yang dirasa sejalan memenuhi hati dan pikiran, hingga entah kapan.

Ada yang terus saja berkutat dengan satu kesempatan, menerima segala manis dan pahitnya, menutup kesempatan lain karena enggan memulai, hingga sampai pada masa pengharapan yang ditentukan namun entah dengan ketentuan-Nya, hingga entah kapan.

Di antara itu semua,

Di mana aku dan kamu berada?

Kegilaan



ada sebuah masa ketika kau telah menanam sebuah rasa
memupuknya setiap hari hingga ia tumbuh besar
dan menganggap segala jenis hama tidak akan membahayakan

maka seketika itu pula logika runtuh tak bersisa, melenyapkan segala ragu
dan perlahan menuntunmu pada sebuah... kegilaan.

kau tau apa saja kegilaan itu?

kemarikan bola matamu
kita lihat apa saja yang kau pandang seharian,
kemarikan juga jemarimu
kita lihat apa saja yang kau tulis seharian,

itulah kegilaan.

ah, juga kemarikan hati dan pikiranmu
kita lihat siapa yang memenuhi kedua tempat itu,

itulah kegilaan.

Kamis, 20 Juni 2013

Menjadi Orang Tua


Pernah kukatakan sebelumnya, tentang hakikat orang tua dan anak.
Bahwa tidak semua orang tua memiliki anak, tetapi semua anak pasti memiliki orang tua.
Aku ingin bercerita tentang bagaimana rasanya (membayangkan) menjadi orang tua.
Menjadi pelindung, pengasuh, dan penjamin kebahagiaan bagi jasad yang ditipkan-Nya pada kita.

Terbayangkah dalam pikiran kita, bagaimana ketika masa itu datang? Ketika sebuah nyawa terlahir ke dunia, menjadi tanggungan kita sebagai orang tua, menjadi sumber bahagia sekaligus masalah dalam waktu yang sama?

Terbayangkah dalam pikiran kita, jika nyawa tersebut terlahir tidak sesuai dengan harapan kita (harapan semua orang tua) seperti anak yang cantik dan ganteng, lucu dan imut, serta cerdas dan membanggakan? Bagaimana jika anak yang terlahir tersebut tidak normal fisiknya, atau tidak normal psikisnya? Bagaimana jika anak yang terlahir tersebut adalah anak nakal yang sering membangkang, sering menyakiti hati kita? Ikhlaskah kita?

Segala pikiran tersebut membuatku takut. Membuatku gila. Sekaligus membuatku sadar, bahwa selama 21 tahun ini, orang tuaku telah menerimaku apa adanya. Menerima segala kenakalanku, segala perlakuan yang membuat mereka sedih, segala minusku dibanding anak-anak lain. Lebih dari itu, mereka menjual kebahagiaan mereka demi kebahagiaan anaknya. Demi bahagiaku.

Dalam beberapa waktu, masih saja kuingat segala keburukan orang tuaku. Segala perlakuan mereka yang membuatku merasa tidak disayang, tidak dicintai, tidak diinginkan. Dalam beberapa waktu itu aku lupa dengan rasa lelah menjadi mereka. Menjadi pelindung, pengasuh, dan penjamin kebahagiaanku.

Teruntuk kedua orang tuaku yang tak terhingga segala jasa-jasanya dalam hidupku, beribu kata terimakasih takkan mampu membayar semua itu, pun dengan segala materi serta waktu yang kuberikan. Tidak, semua itu tidak akan cukup. Kalian adalah kado terindah dan termahal dalam hidupku.

Teruntuk semua yang belum berkeluarga -atau yang sudah berkeluarga tapi belum memiliki anak-, sadarlah betapa menjadi pelindung, pengasuh, dan penjamin kebahagiaan bagi anaknya adalah hal yang sangat sulit. Segala kebaikan yang kita lakukan untuk orang tua takkan cukup untuk membayar kebahagiaan yang telah mereka jual demi kebahagiaan kita. Cintai dan sayangi mereka sepenuh hati, ikhlaskan segala keburukan yang pernah dilakukan orang tua terhadap kita, sekalipun hal tersebut sangat menyakitkan dan terus membekas dalam kehidupan kita.

Sadarlah, betapa segala keburukan yang pernah kita lakukan pada mereka, selalu dapat mereka maafkan. Betapa segala sakit hati yang bersumber dari kita, tak pernah menghalagi mereka untuk tetap mengusahakan kebahagiaan untuk kita.

Minggu, 28 April 2013

Sang Penggenggam Nyawa


Sadarkah kita bahwa nyawa yang masih terjalar dalam tubuh kita ini hanya titipan?
Sadarkah kita bahwa pijakan kaki kita di bumi ini kelak akan berhenti berpijak ketika Ia telah berkehendak?


Seringkali terjadi, jiwa-jiwa yang (merasa) telah merajai bumi menjadi gelap hati..
Seringkali terjadi, jiwa-jiwa yang telah ditinggal mati oleh orang yang dicintai baru tersadar siapa sebenarnya Sang Penggenggam Hati..

Mengingat mati, bukan berarti tercabutnya optimisme dari dalam diri
Mengingat mati, bukan berarti kepasrahan tanpa usaha menjalani apa-apa yang diingini
Mengingat mati, adalah cara kita merendahkan diri, hingga tergenggamnya dunia di tangan dan akhirat di hati..

Ya Rabbi, hari ini telah Kau ambil sebuah nyawa yang memang menjadi hak-Mu
Sebuah nyawa dari seseorang yang aku cintai, adik dari ibuku yang tak hentinya terisak sedari tadi
Ya Rabbi, izinkanlah ia beristirahat di sisi terindah-Mu
Ampuni segala dosanya dan lapangkanlah jalannya menuju surga abadi-Mu :')

* Teruntuk om didi yang sudah berpulang hari ini, selamat jalan om... semoga tenang di akhirat sana :') *

Selasa, 23 April 2013

Inez Ultra Fine Liquid Eyeliner [makeup review]

Tadaaaaa, inilah local product daily eyeliner-ku selama kurang lebih 2 tahun ini,

dan sekarang saatnya untuk me-review ;)


Buat aku, eyeliner termasuk benda wajib yang harus digunakan saat akan pergi keluar rumah. Alasannya? hmmm, alasannya karena benda ajaib ini bisa membuat mata menjadi lebih "hidup". Aku lebih memilih nggak memakai mascara daripada nggak memakai eyeliner, hehe.

Untuk eyeliner sendiri, ada beberapa pilihan jenis yang bisa dipakai: liquid (cair), pencil, dan cream.
Dari ketiga jenis tersebut, aku prefer liquid eyeliner, karena yang pencil warnanya cepat hilang and easy smudge, sedangkan yang cream juga easy smudge dan terlihat tebal (jatuhnya seperti memakai eyeshadow versi tebal).

Lalu, apa bedanya liquid eyeliner yang ini dengan liquid eyeliner yang lainnya?

Perbedaannya terletak pada 2 hal penting, yaitu kuas aplikatornya yang super tipisss dan warnanya yang stay on for a loooong time. Dari beberapa liquid eyeliner yang aku beli, produk ini yang memiliki kuas aplikator paling tipis, jadi bisa membuat garis mata setipis mungkin. Kemudian, warnanya yang hitam pekat itu nggak mudah luntur, karena kalo udah dalam keadaan kering, diberi air dan digosok pelan pun nggak akan hilang.. lalu bagaimana membersihkannya? dengan "dikelupas". Iya, dikelupas. Pernah lihat sisa lem yang sudah kering? atau masker collagen/gold? atau kulit mati yang dikelupas? seperti itulah dikelupasnya. Saat dikelupas, hilang sudah tanpa sisa. Lain dengan liquid eyeliner yang lain, biasanya warnanya cepat memudar dan terkadang smudge jika terkena minyak dari eyelid kita atau terkena air.

Kesimpulannya adalaaah...

  • Packaging-nya standar, sama seperti liquid eyeliner yang lain
  • Kuas aplikator yang super tipis memudahkan kita untuk membuat garis yang tipis maupun tebal
  • Warnanya pekat but still natural
  • Anti-smudge <<< the most I loved
  • Re-purchase? YES, I have use it since 2 years ago, remember? :p


Wardah Lightening Two Way Cake [makeup review]

Dari sekian banyak bedak two way cake, yang satu ini menurutku termasuk yang oke. Sebagai informasi, kulitku wajahku termasuk kulit kombinasi, artinya mudah berminyak tapi mudah kering sampai agak mengelupas jika terlalu banyak memakai produk anti kulit berminyak. Nah loh, manja sekali ya kulitku :|

Nah, untuk pemakaian bedak pun aku sudah berganti-ganti dari satu produk ke produk lain, sebenarnya untuk kulit sepertiku ini lebih disarankan untuk memakai bedak tabur  untuk menghindari jerawat (kulit berminyak biasanya rawan berjerawat), tapi karena aku jarang berjerawat (paling komedoan) dan suka dengan bedak yang awet lebih lama, jadilah pilihan jatuh pada bedak padat, hahaha. Oke deh lanjut ke reviewnya..

Satu hal yang sangat kusuka dari produk ini adalah packaging-nya. Cantik, terlihat ekslusif, dan yang terpenting, bersih. Lihat kan ada tempat khusus spons-nya? di tempat spons-nya itu ada lubang-lubang kecil di bawahnya  agar tidak lembab. Yeaaa, I love it :D

Produk ini tersedia dalam 4 warna: Light Beige, Golden Beige, Sheer Pink, dan Natural. Yang aku punya adalah yang Golden Beige, teksturnya haluuus banget, dan pemakaiannya cukup tipis-tipis aja karena sangat pigmented ya menurutku. Kalo pakenya tebel, udah macem lenong bok :p
Selain itu, produk ini juga diperkaya dengan ekstrak licorice dan UV protection yang melindungi kulit kita dari sinar matahari, jadi aman deh kalo udah pake ini (apalagi aku nggak suka pake sunscreen, pasti bikin muka berminyak).

Kesimpulannya:
  • Packagingnya oke, oke banget
  • Teksturnya lembut dan pigmented
  • Coverage medium to full
  • Cukup tahan lama, nggak perlu re-touch kalo cuacanya bersahabat
  • Oil control-nya cukup oke, wajah jadi nggak terlihat mengkilap :D
  • Re-purchase? of course :)


Malaikat Kecil

aku ingin bercerita,
tentang sebuah harapan untuk dapat terlelapnya seorang malaikat kecil
dalam pelukanku..



Tak sempurna seorang perempuan sebelum ia dapat memberikan keturunan, begitu kebanyakan penilaian orang. Yah, menjadi seorang ibu, menurutku adalah sebuah anugerah luar biasa dari Sang Maha Kuasa. Anugerah yang tidak semua perempuan dapat merasakannya.

Mengapa demikian? Karena selain usia, jodoh dan kematian, anak pun juga merupakan misteri Illahi. Oleh karena itu, saat mendengar seorang perempuan yang baru saja melahirkan, aku selalu menggumam dalam hati "subhanallah, sungguh beruntung perempuan itu. semoga kelak aku juga bisa merasakannya, aamiin".

Bagiku, cinta yang paling tulus selain cinta Allah pada makhluk-Nya adalah cinta seorang ibu pada anaknya. Tak perduli seberapa sering hatinya terluka dan merasa lelah karena kelakuan anaknya, selalu rasa cinta mengalahkan segalanya. Dan aku mendamba untuk memiliki rasa cinta seperti itu...

Ada sebuah tulisan singkat yang pernah kutulis di fitur notes facebook dua tahun silam, tepatnya tahun 2011,  tentang pendidikan yang akan kuajarkan bagi anakku nanti..

Saat anakku masih balita
Aku akan menemaninya makan dan minum dengan tangan kanan
Aku akan menemaninya bermain hingga sore di taman
Aku akan menemaninya membaca dongeng di setiap malam
Saat orang tua lain menemani anaknya hanya ketika ditinggal babysitternya

Saat anakku mulai masuk SD
Aku akan membelikan congklak untuknya
Aku akan membelikan ular tangga untuknya
Aku akan membelikan mobil-mobilan untuknya
Saat orang tua lain membelikan handphone blackberry untuk anaknya

Aku tak perduli
Saat aku diolok oleh teman arisan
Karena aku harus menjemput sendiri anakku tanpa bantuan babysitter
Aku tak perduli
Saat aku dihina oleh teman kantor
Karena aku membelikan congklak dan bukan blackberry untuk anakku

Kenapa aku berbuat seperti itu ?
Bukan karena pelit
Atau karena aku miskin
Apalagi tidak modern
Atau aku tak sayang anakku
Sungguh, bukan itu

Tapi
Aku ingin mengajari anakku
Bagaimana menjadi
Anak-anak ..

Jumat, 19 April 2013

Tuhan dan Cokelat



Sadarkah engkau bahwa Tuhan memberi pesan
lewat sebatang cokelat yang kau beli sepulang kerja tadi?

Dengan amarah dan kecewa yang menggantung di pelupuk mata, kau bercerita tentang bosmu di kantor yang menilai buruk hasil kerjamu. Aku tersenyum memperhatikan ceritamu, lewat mulutmu yang sibuk mengunyah cokelat.

Aku membiarkan dirimu tenggelam dalam kepahitanmu, hingga saat kalimatmu menemui titiknya, aku bertanya, “Bagaimana rasa cokelatnya?”.

Keningmu berkerut, dengan nada kesal kau menjawab, “Manis bercampur pahit.  Kenapa kau malah bertanya tentang cokelatnya? Kau tidak memperhatikan ceritaku?”.

Aku menatapmu seraya berkata, “Begitulah hidupmu hari ini, sayang, seperti cokelat yang sedang kau kunyah, manis dan pahit. Tidakkah kau memahami bahwa Tuhan memberi kesempatan padamu untuk merasakan manis dari kepahitan yang kau rasakan hari ini? Coba kau renungi lagi, ada pesan baik dari Tuhan lewat teguran bosmu hari ini”.

Kau terdiam, mulutmu yang sibuk mengunyah pun ikut diam, hingga sebuah anggukan kecil dapat kutangkap lewat retinaku. Lalu kau meraih lenganku, menenggelamkanku dalam pelukmu.