Sadarkah engkau bahwa Tuhan memberi pesan
lewat sebatang cokelat yang kau beli sepulang kerja tadi?
Dengan amarah dan kecewa yang menggantung di pelupuk mata, kau bercerita tentang bosmu di kantor yang menilai buruk hasil kerjamu. Aku tersenyum memperhatikan ceritamu, lewat mulutmu yang sibuk mengunyah cokelat.
Aku membiarkan dirimu tenggelam dalam kepahitanmu, hingga saat kalimatmu menemui titiknya, aku bertanya, “Bagaimana rasa cokelatnya?”.
Keningmu berkerut, dengan nada kesal kau menjawab, “Manis bercampur pahit. Kenapa kau malah bertanya tentang cokelatnya? Kau tidak memperhatikan ceritaku?”.
Aku menatapmu seraya berkata, “Begitulah hidupmu hari ini, sayang, seperti cokelat yang sedang kau kunyah, manis dan pahit. Tidakkah kau memahami bahwa Tuhan memberi kesempatan padamu untuk merasakan manis dari kepahitan yang kau rasakan hari ini? Coba kau renungi lagi, ada pesan baik dari Tuhan lewat teguran bosmu hari ini”.
Kau terdiam, mulutmu yang sibuk mengunyah pun ikut diam, hingga sebuah anggukan kecil dapat kutangkap lewat retinaku. Lalu kau meraih lenganku, menenggelamkanku dalam pelukmu.
Aku membiarkan dirimu tenggelam dalam kepahitanmu, hingga saat kalimatmu menemui titiknya, aku bertanya, “Bagaimana rasa cokelatnya?”.
Keningmu berkerut, dengan nada kesal kau menjawab, “Manis bercampur pahit. Kenapa kau malah bertanya tentang cokelatnya? Kau tidak memperhatikan ceritaku?”.
Aku menatapmu seraya berkata, “Begitulah hidupmu hari ini, sayang, seperti cokelat yang sedang kau kunyah, manis dan pahit. Tidakkah kau memahami bahwa Tuhan memberi kesempatan padamu untuk merasakan manis dari kepahitan yang kau rasakan hari ini? Coba kau renungi lagi, ada pesan baik dari Tuhan lewat teguran bosmu hari ini”.
Kau terdiam, mulutmu yang sibuk mengunyah pun ikut diam, hingga sebuah anggukan kecil dapat kutangkap lewat retinaku. Lalu kau meraih lenganku, menenggelamkanku dalam pelukmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar