Pages

Kamis, 15 Mei 2014

Terlalu Pagi

Masih terlalu pagi untuk menulis sambil meneteskan air mata di pipi
Biarlah, biar lega rongga dada ini
Biarlah, biar cepat selesai segala rasa yang membebani

Ada banyak kata yang tak kuasa terucap, menggumpal di dalam hati, lalu keluar  begitu saja dalam bentuk butiran air mata yang membasahi bantal dan gulingku pagi ini.

Aku terlalu lemah.

Untuk sesuatu yang  merusak hariku, merusak percayaku, merusak harapku.

Merusak hidupku.

Hey, siapa pula yang perduli pada segenggam hatimu yang menjerit sejak lama itu?

Bahkan tidak juga yang menjadikan hatimu seperti itu.

Sadarlah!

Sadarlah, hati...

Sadarlah... :’(

“Bahagiakah Kamu Saat Ini?”

Sebelum semua terlupa,
Sebelum semua nasehat sirna,
Sebelum semua menemui akhir yang sia-sia...

Pada intinya, pencapaian hidup tertinggi seorang manusia adalah bahagia. Bertemu dengan bahagia adalah proses yang tidak sebentar, tidak mudah, dan butuh jatuh bangun bahkan tamparan sana-sini.

Tamparan dari mereka yang kita sayang, tamparan dari mereka yang tak mengharap apa-apa selain kebaikan untuk kita, tamparan dari mereka yang kita sebut sahabat...

Hari ini banyak sekali tamparan yang mendarat dalam pikiran dan hatiku. Tamparan yang kuhafal betul rasa sakitnya, kuhafal betul cara mengatasinya, tapi terlihat sangat asing bagiku selama beberapa waktu ini.

Iya, keasingan tamparan itu karena sikapku yang keras kepala dan terlalu mengharapkan sesuatu yang sia-sia...

“Yang membuatku menyerah bukanlah sebuah kesalahan besar, tapi kesalahan yang berulang-ulang”. Sebaris kalimat itu yang dulu menguatkan sendiku dan mengantarkanku pada ketegasan untuk berkata “tidak”.

Dan pada saat ini, pada detik dimana jemariku menari di atas keyboard laptop, kuulang kembali kalimatku :

“Yang membuatku menyerah bukanlah sebuah kesalahan besar, tapi kesalahan yang berulang-ulang”.

Kau tau kenapa kesalahan berulang-ulang itu berakibat fatal, melebihi sebuah kesalahan besar?

Hal yang dilakukan berulang-ulang adalah kebiasaan. Kebiasaan adalah sifat dan sikap yang melekat pada diri seseorang. Sifat dan sikap yang melekat pada diri seseorang adalah karakter murni. Karakter murni tidak akan pernah berubah dan tidak akan ada yang bisa merubah – kuulangi lagi -- tidak akan pernah berubah dan tidak akan ada yang bisa merubah.

Pilihan kita hanya dua : terima ATAU tinggalkan.

Saat kita berada dalam posisi harus memilih untuk menerima atau meninggalkan, patokannya hanya sebaris kalimat sederhana ini...
“Bahagiakah kamu saat ini?”

Iya, hanya sebaris kalimat sederhana itu yang harus kita tentukan jawabannya. Jawaban iya ATAU tidak. Jawaban singkat yang tak pernah sesederhana pertanyaannya.

Kemudian aku mulai meragu. Terpaku dengan kaku tepat di tengah-tengah jawaban iya dan tidak. Tak apa, diam dulu disana. Meragu artinya berkeinginan untuk maju, untuk terlepas dari segala perasaan yang membelenggu; hanya saja (aku) terlalu takut mengambil resiko yang tak terbayang dalam pikiran(ku).

Takut melepas, takut kehilangan, takut merelakan banyak hal yang selama ini ada padanya (yang merupakan banyak hal yang kuinginkan selama ini).

But hey, apa itu pantas?

Untuk segala sakit hati, untuk segala rasa yang berontak, untuk segala respect yang nol besar, untuk segala harap yang jelas dihempas?

Bagi sebagian orang, tak butuh waktu lama untuk sadar dan mengambil jawaban “tidak”. Sebagian lagi butuh waktu lama, butuh jatuh-bangun-jatuh-bangun hingga sendi terasa lemas dan memutuskan berhenti karena lelah.

Aku, sebagian yang kedua.

Bagaimanapun, seperti yang kukatakan di awal, pencapaian hidup tertinggi seorang manusia adalah bahagia. Pikiranku terlalu naif saat berfikir bahwa ketika dia memenuhi apa yang kumau, maka dia bisa melakukan apapun yang dia mau.

Aku akan selalu mengingat nasehat dari seorang ayah “jangan menikah dengan laki-laki yang (sangat) kamu cintai, tapi menikahlah dengan laki-laki yang mencintaimu”.

Bukan, itu bukan berarti kita harus terus mencari yang sungguh-sungguh mencintai kita tanpa bercermin pada diri sendiri bahkan menjadikan diri kita tidak tau diri. Bukan.

Aku sadar betul, ketika kita menginginkan pasangan yang baik, haruslah kita menjadi pasangan yang baik terlebih dulu.

Nasehat di atas berkaitan erat dengan tanggung jawab seorang laki-laki, terlebih ketika berumah tangga nanti.

Rumah tangga itu sesuatu yang rumit, sesuatu yang akan kita jalani dalam masa yang entah sampai kapan. Maka, dalam rumah tangga harus ada keikhlasan dari keduanya.

Keikhlasan untuk menasehati dan dinasehati, untuk memberi dan menerima, untuk sama-sama berbahagia.

Dan ketika masa itu belum tiba, kau dapat membayangkannya pada masa kini. Keduanya tak akan jauh berbeda, karena karakter yang dibawa adalah sama. Justru ketika masa itu tiba, persoalan hidup akan semakin beragam dan karakter yang dibawa bukan tidak mungkin akan memburuk oleh sebab tuntutan hidup.

Maka renungi, jawab, lalu ambil sikap.

“Bahagiakah kamu saat ini?”

[Dariku, untukku. Belajarlah untuk berbahagia.]