Sebelum semua terlupa,
Sebelum semua
nasehat sirna,
Sebelum semua menemui akhir yang sia-sia...
Pada intinya, pencapaian
hidup tertinggi seorang manusia adalah bahagia. Bertemu dengan bahagia adalah
proses yang tidak sebentar, tidak mudah, dan butuh jatuh bangun bahkan tamparan
sana-sini.
Tamparan dari mereka yang kita sayang, tamparan dari mereka yang tak
mengharap apa-apa selain kebaikan untuk
kita, tamparan dari mereka yang kita sebut sahabat...
Hari ini banyak sekali tamparan
yang mendarat dalam pikiran dan hatiku. Tamparan yang kuhafal betul rasa
sakitnya, kuhafal betul cara mengatasinya, tapi terlihat sangat asing bagiku
selama beberapa waktu ini.
Iya, keasingan tamparan itu karena sikapku yang
keras kepala dan terlalu mengharapkan sesuatu yang sia-sia...
“Yang membuatku menyerah
bukanlah sebuah kesalahan besar, tapi kesalahan yang berulang-ulang”. Sebaris kalimat
itu yang dulu menguatkan sendiku dan mengantarkanku pada ketegasan untuk
berkata “tidak”.
Dan pada saat ini, pada detik
dimana jemariku menari di atas keyboard laptop, kuulang kembali kalimatku :
“Yang membuatku menyerah
bukanlah sebuah kesalahan besar, tapi kesalahan yang berulang-ulang”.
Kau tau kenapa kesalahan
berulang-ulang itu berakibat fatal, melebihi sebuah kesalahan besar?
Hal yang dilakukan berulang-ulang
adalah kebiasaan. Kebiasaan adalah sifat dan sikap yang melekat pada diri
seseorang. Sifat dan sikap yang melekat pada diri seseorang adalah karakter
murni. Karakter murni tidak akan pernah berubah dan tidak
akan ada yang bisa merubah – kuulangi lagi -- tidak
akan pernah berubah dan tidak akan ada yang bisa merubah.
Pilihan kita hanya dua :
terima ATAU tinggalkan.
Saat kita berada dalam
posisi harus memilih untuk menerima atau meninggalkan, patokannya hanya sebaris
kalimat sederhana ini...
“Bahagiakah kamu saat ini?”
Iya, hanya sebaris kalimat
sederhana itu yang harus kita tentukan jawabannya. Jawaban iya ATAU tidak. Jawaban
singkat yang tak pernah sesederhana pertanyaannya.
Kemudian aku mulai meragu. Terpaku
dengan kaku tepat di tengah-tengah jawaban iya dan tidak. Tak apa, diam dulu
disana. Meragu artinya berkeinginan untuk maju, untuk terlepas dari segala perasaan
yang membelenggu; hanya saja (aku) terlalu takut mengambil resiko yang tak
terbayang dalam pikiran(ku).
Takut melepas, takut
kehilangan, takut merelakan banyak hal yang selama ini ada padanya (yang
merupakan banyak hal yang kuinginkan selama ini).
But hey, apa itu pantas?
Untuk segala sakit hati,
untuk segala rasa yang berontak, untuk segala respect yang nol besar, untuk
segala harap yang jelas dihempas?
Bagi sebagian orang, tak
butuh waktu lama untuk sadar dan mengambil jawaban “tidak”. Sebagian lagi butuh
waktu lama, butuh jatuh-bangun-jatuh-bangun hingga sendi terasa lemas dan
memutuskan berhenti karena lelah.
Aku, sebagian yang kedua.
Bagaimanapun, seperti yang
kukatakan di awal, pencapaian hidup tertinggi seorang manusia adalah bahagia. Pikiranku
terlalu naif saat berfikir bahwa ketika dia memenuhi apa yang kumau, maka dia
bisa melakukan apapun yang dia mau.
Aku akan selalu mengingat
nasehat dari seorang ayah “jangan menikah dengan laki-laki yang (sangat) kamu
cintai, tapi menikahlah dengan laki-laki yang mencintaimu”.
Bukan, itu bukan berarti
kita harus terus mencari yang sungguh-sungguh mencintai kita tanpa bercermin
pada diri sendiri bahkan menjadikan diri kita tidak tau diri. Bukan.
Aku sadar betul, ketika
kita menginginkan pasangan yang baik, haruslah kita menjadi pasangan yang baik
terlebih dulu.
Nasehat di atas berkaitan
erat dengan tanggung jawab seorang laki-laki, terlebih ketika berumah tangga
nanti.
Rumah tangga itu sesuatu
yang rumit, sesuatu yang akan kita jalani dalam masa yang entah sampai kapan. Maka,
dalam rumah tangga harus ada keikhlasan dari keduanya.
Keikhlasan untuk menasehati
dan dinasehati, untuk memberi dan menerima, untuk sama-sama berbahagia.
Dan ketika masa itu belum
tiba, kau dapat membayangkannya pada masa kini. Keduanya tak akan jauh berbeda,
karena karakter yang dibawa adalah sama. Justru ketika masa itu tiba, persoalan
hidup akan semakin beragam dan karakter yang dibawa bukan tidak mungkin akan memburuk
oleh sebab tuntutan hidup.
Maka renungi,
jawab, lalu ambil sikap.
“Bahagiakah kamu saat ini?”
[Dariku, untukku. Belajarlah untuk berbahagia.]