Pages

Rabu, 05 November 2014

(Tak) Bisa Biasa

Bisa saja kulangkahkan kaki
Menjauh dari sosok yang membuatku jatuh hati

Tapi
Itulah kebebalanku yang kesekian
Tak pernah merasa disia-siakan
Meski begitu banyak alasan untuk melepaskan

Aku masih bertanya
Apa yang kau lakukan padaku
Hingga aku tak bisa biasa
Bila ada kau di hadapanku

Sabtu, 09 Agustus 2014

RUANG CITA



Pada tiap sumber bahagia, kuletakkan jiwa yang kerap mengeluh menjalani hidup yang penuh peluh.
Pada tiap sumber bahagia, kulatih raga yang kerap tersungkur oleh lubang dengan kedalaman tak terukur.
Pada tiap sumber bahagia, kuajarkan lisan untuk mengucap syukur atas nikmat yang tumbuh menjamur.
Pada tiap sumber bahagia, kutemukan banyak jiwa dengan berbagai harap dan asa yang membuatku bersemangat menggapai cita.
Pada salah satu sumber bahagia yang kusebut Ruang Cita, semoga kisah kita akan tetap terus ada membersamai langkah kita, memenuhi rongga nafas kita untuk mencapai cita yang tak terhitung jumlahnya, selamanya :) 


Suami dan Istri yang (Saling) Menghargai

Belajar bisa dari mana saja, kan?

Entah kenapa, sering sekali aku mendapati kejadian yang serupa, walaupun dengan cerita berbeda, tapi intinya tetap sama.

Intinya begini:

Ketika laki-laki yang telah berkeluarga sedang berkumpul bersama teman-temannya yang juga sudah berkeluarga, mereka saling memperkenalkan istri masing-masing dengan kalimat yang (menurut mereka) lucu dan jadi bahan tertawa sesama lelaki, seperti:

"Kenalin, ini istri pertamaku, eh... hahaha"

"Temen-temen, ini istri yang aku nikahin tahun lalu, kalo yang taun ini sih, eh... hahaha"

"Oh ya ini ibunya anak-anak, tapi kayaknya butuh temen buat ngasuh anak-anak ya, eh... hahaha"

"Ini istriku, teman-teman.. katanya menikah itu menyempurnakan sebagian iman, nah sebagiannya lagi berarti nikah lagi, ya? eh... hahaha"

Dan masih banyak lagi.

Bagi kalian laki-laki yang telah berkeluarga, pernahkah kalian terpikir bagaimana perasaan istri kalian masing-masing ketika mendengarnya?

Sebegitu sulitnya kah memperkenalkan istri kalian dengan cara yang baik?

Sebegitu sulitnya kah berbangga hati pada istri kalian yang telah mengurus segala keperluan kalian, juga telah bersusah payah mengasuh anak-anakmu?

"Temen-temen, kenalin, ini suamiku/ istriku satu-satunya yang sudah bersedia susah senang denganku.."
Siapa yang nggak  seneng diperkenalkan dengan cara baik seperti itu?

Percayalah, berbangga hati pada pasangan di hadapan teman-teman tidak akan menurunkan harga diri, tapi justru menunjukkan betapa kau adalah pasangan yang amat baik.

Hati-hati terhadap ucapanmu, hati-hati terhadap candamu...

Selasa, 05 Agustus 2014

((( Ingin Ini Ingin Itu Banyak Sekali )))


Rasanya bener banget cuplikan lagu Doraemon ini. Dalam hidup, banyak sekali keinginan-keinginan kita. Bisa jalan-jalan ke luar negeri, bisa menempuh pendidikan setinggi-tingginya, punya bisnis yang sukses, punya gadget yang super canggih, dan banyaaaak lagi lainnya. Tidak ketinggalan juga keinginan-keinginan spesifik dari masing-masing orang.

Saya, misalnya, selain keinginan umum yang sudah disebutkan tadi, masih banyak lagi keinginan saya (yang mungkin bagi sebagian orang tidak penting).
Pertama, saya ingin punya bisnis di bidang kuliner karena saya rasa bisnis kuliner nggak akan mati selama masih ada orang yang butuh makan, hehehe. Selain itu, menjadi pebisnis bagi saya adalah pekerjaan paling menyenangkan dalam hidup ini. Saya bukan tipe orang yang terjebak dalam ritme job seeker yang mencari lowongan pekerjaan sebagai karyawan ataupun sebagai PNS. Bukan, saya bukan idealis. Beginilah saya, lebih suka memerintah dan diperintah diri sendiri daripada diperintah orang lain yang memerintah saya :p

Sebagai orang yang berkeinginan terjun dalam bisnis di bidang kuliner, saya paham ada banyak tantangan yang harus saya lewati. Tantangan utama bukan berasal dari luar diri saya, tapi justru dari dalam diri saya sendiri. Singkat cerita, saya pernah mencoba berjualan spaghetti bersama salah satu teman. Kami berjualan di seputaran kampus tentunya dengan urat nadi yang sudah diputus terlebih dahulu. Saya ingat koar-koar yang dulu kami elukan "permisi mas, mbak... mari spaghettinya, ada rasa ayam, ada rasa jamur, silahkan lima ribuan aja".

Hasilnya memuaskan, menyenangkan, tapi......melelahkan. Sangat melelahkan. Pagi-pagi buta, saya dan teman saya sudah sibuk memasak spaghetti. semua proses memasak sampai packing kira-kira butuh waktu 2-3 jam. Kegiatan iseng-iseng menghasilkan duit itu kami lakukan sekitar.....saya lupa, mungkin sebulan. Yah, karena waktu itu kuliah masih padat, maka kami memutuskan untuk mengakhirinya karena waktunya sudah tidak efisien. Padahal, waktu itu alhamdulillah respon yang kami terima positif, agak sedih juga mengakhirinya, tapi ya sudahlah...

Kedua, saya ingin memiliki kolam renang indoor pribadi. Iya, kolam renang indoor pribadi. Saya suka sekali berenang, tapi berhubung di Jogja ini kolam renang indoor yang proper khusus perempuan (setau saya) cuma di Salsabila dan lokasinya jauh dari rumah, jadilah hobi saya ini seringkali tidak terpenuhi.

Ketiga, saya ingin (kembali) memelihara Guinea Pig. Keinginan ini jelas sudah spesifik sekali, karena pecinta binatang --apalagi guinea pig-- sangat jarang. Saya jatuh cinta dengan hewan yang satu ini. Nanti saya akan buat postingan khusus tentang guinea pig yang sempat saya pelihara selama sekitar dua tahun.

Keempat, saat saya sudah berkeluarga nanti, saya ingin memiliki furniture multi-fungsi yang selama ini hanya bisa saya pandangi dari layar laptop. Seperti apa furniture multi-fungsi itu? Oke, ini akan jadi bahan postingan terpisah juga. Wah, ternyata dari satu postingan bisa memunculkan ide postingan lainnya ya, hehehe  :p

Yah, segitu dulu cuap-cuapnya. Semua yang saya sebutkan di atas adalah keinginan duniawi saya, keinginan yang membuat saya bahagia di dunia. Ah, semoga keinginan-keinginan saya itu tidak hanya berguna di dunia, tapi juga di akhirat. Gimana caranya? Loh, bukankah semua perbuatan itu, ketika diniatkan karena Allah dengan berbagai kebaikan yang bisa didapat, juga bernilai pahala? :) 

Kamis, 15 Mei 2014

Terlalu Pagi

Masih terlalu pagi untuk menulis sambil meneteskan air mata di pipi
Biarlah, biar lega rongga dada ini
Biarlah, biar cepat selesai segala rasa yang membebani

Ada banyak kata yang tak kuasa terucap, menggumpal di dalam hati, lalu keluar  begitu saja dalam bentuk butiran air mata yang membasahi bantal dan gulingku pagi ini.

Aku terlalu lemah.

Untuk sesuatu yang  merusak hariku, merusak percayaku, merusak harapku.

Merusak hidupku.

Hey, siapa pula yang perduli pada segenggam hatimu yang menjerit sejak lama itu?

Bahkan tidak juga yang menjadikan hatimu seperti itu.

Sadarlah!

Sadarlah, hati...

Sadarlah... :’(

“Bahagiakah Kamu Saat Ini?”

Sebelum semua terlupa,
Sebelum semua nasehat sirna,
Sebelum semua menemui akhir yang sia-sia...

Pada intinya, pencapaian hidup tertinggi seorang manusia adalah bahagia. Bertemu dengan bahagia adalah proses yang tidak sebentar, tidak mudah, dan butuh jatuh bangun bahkan tamparan sana-sini.

Tamparan dari mereka yang kita sayang, tamparan dari mereka yang tak mengharap apa-apa selain kebaikan untuk kita, tamparan dari mereka yang kita sebut sahabat...

Hari ini banyak sekali tamparan yang mendarat dalam pikiran dan hatiku. Tamparan yang kuhafal betul rasa sakitnya, kuhafal betul cara mengatasinya, tapi terlihat sangat asing bagiku selama beberapa waktu ini.

Iya, keasingan tamparan itu karena sikapku yang keras kepala dan terlalu mengharapkan sesuatu yang sia-sia...

“Yang membuatku menyerah bukanlah sebuah kesalahan besar, tapi kesalahan yang berulang-ulang”. Sebaris kalimat itu yang dulu menguatkan sendiku dan mengantarkanku pada ketegasan untuk berkata “tidak”.

Dan pada saat ini, pada detik dimana jemariku menari di atas keyboard laptop, kuulang kembali kalimatku :

“Yang membuatku menyerah bukanlah sebuah kesalahan besar, tapi kesalahan yang berulang-ulang”.

Kau tau kenapa kesalahan berulang-ulang itu berakibat fatal, melebihi sebuah kesalahan besar?

Hal yang dilakukan berulang-ulang adalah kebiasaan. Kebiasaan adalah sifat dan sikap yang melekat pada diri seseorang. Sifat dan sikap yang melekat pada diri seseorang adalah karakter murni. Karakter murni tidak akan pernah berubah dan tidak akan ada yang bisa merubah – kuulangi lagi -- tidak akan pernah berubah dan tidak akan ada yang bisa merubah.

Pilihan kita hanya dua : terima ATAU tinggalkan.

Saat kita berada dalam posisi harus memilih untuk menerima atau meninggalkan, patokannya hanya sebaris kalimat sederhana ini...
“Bahagiakah kamu saat ini?”

Iya, hanya sebaris kalimat sederhana itu yang harus kita tentukan jawabannya. Jawaban iya ATAU tidak. Jawaban singkat yang tak pernah sesederhana pertanyaannya.

Kemudian aku mulai meragu. Terpaku dengan kaku tepat di tengah-tengah jawaban iya dan tidak. Tak apa, diam dulu disana. Meragu artinya berkeinginan untuk maju, untuk terlepas dari segala perasaan yang membelenggu; hanya saja (aku) terlalu takut mengambil resiko yang tak terbayang dalam pikiran(ku).

Takut melepas, takut kehilangan, takut merelakan banyak hal yang selama ini ada padanya (yang merupakan banyak hal yang kuinginkan selama ini).

But hey, apa itu pantas?

Untuk segala sakit hati, untuk segala rasa yang berontak, untuk segala respect yang nol besar, untuk segala harap yang jelas dihempas?

Bagi sebagian orang, tak butuh waktu lama untuk sadar dan mengambil jawaban “tidak”. Sebagian lagi butuh waktu lama, butuh jatuh-bangun-jatuh-bangun hingga sendi terasa lemas dan memutuskan berhenti karena lelah.

Aku, sebagian yang kedua.

Bagaimanapun, seperti yang kukatakan di awal, pencapaian hidup tertinggi seorang manusia adalah bahagia. Pikiranku terlalu naif saat berfikir bahwa ketika dia memenuhi apa yang kumau, maka dia bisa melakukan apapun yang dia mau.

Aku akan selalu mengingat nasehat dari seorang ayah “jangan menikah dengan laki-laki yang (sangat) kamu cintai, tapi menikahlah dengan laki-laki yang mencintaimu”.

Bukan, itu bukan berarti kita harus terus mencari yang sungguh-sungguh mencintai kita tanpa bercermin pada diri sendiri bahkan menjadikan diri kita tidak tau diri. Bukan.

Aku sadar betul, ketika kita menginginkan pasangan yang baik, haruslah kita menjadi pasangan yang baik terlebih dulu.

Nasehat di atas berkaitan erat dengan tanggung jawab seorang laki-laki, terlebih ketika berumah tangga nanti.

Rumah tangga itu sesuatu yang rumit, sesuatu yang akan kita jalani dalam masa yang entah sampai kapan. Maka, dalam rumah tangga harus ada keikhlasan dari keduanya.

Keikhlasan untuk menasehati dan dinasehati, untuk memberi dan menerima, untuk sama-sama berbahagia.

Dan ketika masa itu belum tiba, kau dapat membayangkannya pada masa kini. Keduanya tak akan jauh berbeda, karena karakter yang dibawa adalah sama. Justru ketika masa itu tiba, persoalan hidup akan semakin beragam dan karakter yang dibawa bukan tidak mungkin akan memburuk oleh sebab tuntutan hidup.

Maka renungi, jawab, lalu ambil sikap.

“Bahagiakah kamu saat ini?”

[Dariku, untukku. Belajarlah untuk berbahagia.]

Minggu, 23 Maret 2014

Sister's Wedding



Proposal nikah dari calon suami kakakku itu kubaca lagi dan lagi. Menerawang kehidupan kakakku setelah menikah nanti lewat segala kepribadian dan visi serta misi menikah dari calonnya tersebut. Muhammad Fachrie. Dari tulisan itu, I can say YES for this guy when my sister ask "how?"

Prosesnya singkat, mmm, sangat singkat, menurutku. Kakakku dan calon suaminya yang mengikuti proses ta'aruf itu tak butuh waktu lama untuk bersepakat menikah dan memutuskan kapan, di mana, dan bagaimana acara pernikahannya nanti. Konsep acara diatur sedemikian rupa setelah pembentukan panitia. Keluarga dari mas Fachrie yang berdomisili di Palembang berkunjung ke rumah untuk saling mengenal keluarga masing-masing. Beberapa kali keluarga beserta panitia mengunjungi gedung pernikahan untuk mengurus segala sesuatu yang dibutuhkan untuk acara pernikahan.

Lalu fitting baju pengantin, mempersiapkan souvenir pernikahan berupa buku tentang ilmu nikah yang ditulis oleh kakakku dan mas Fachrie, berburu kebaya untuk keluarga besar serta baju batik untuk panitia, daaaan masih banyak lagi yang tak bisa kusebutkan, semua itu dilakukan hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan. Kurang dari 3 bulan.

Selama rentang waktu tersebut, setiap hari keluarga di rumah tak hentinya membicarakan pernikahan. Sempat ada rasa lelah mengikuti ritme yang sangat cepat itu, rasanya seperti dikejar deadline skripsi *eh curcol* :p

Tapi pada akhirnya, hari itu pun tiba. 26 Januari 2014. Momen yang entah harus disimpulkan bagaimana; haru, bahagia, sedih, cemas. Campur aduk. Dalam waktu kurang dari satu menit, kakakku bertambah statusnya menjadi seorang istri, menantu, dan ipar sesaat setelah mas Fachrie selesai membaca akad nikah dan penghulu berkata SAH :')

Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah... *nulisnya sambil ngebayangin momen itu lagi, mata jadi berkaca-kaca*

Ya, aku berbahagia untuk kakakku. Untuk mas Fachrie yang sudah menjadi suami kakakku. Untuk Mona, adik dari mas Fachrie yang kini menjadi saudara iparku. Untuk Mama dan Papa dari mas Fachrie, juga keluarga besar mas Fachrie yang kini menjadi keluarga besarku juga. Aku bahagia :')

Oh iya, ada hal menarik sebelum kakakku ta'aruf dengan mas Fachrie. Pada momen ulang tahun kakakku sekitar 3 bulan sebelum ta'aruf, aku memberi catatan untuk kakakku yang saat itu berulang tahun ke-24. Catatan yang sekaligus menjadi doaku, dan dengan izin Allah, doaku itu terkabul :'D

Here my note for her :

Sekarang, sudah lewat dua bulan sejak pernikahan berlangsung. Beberapa hari lalu, kakakku memberi kabar mengejutkan "hey, i'm pregnant" :)

Senin, 02 September 2013

Growing Up and Growing Old


Impian. Kenyataan.
Apakah keduanya bermusuhan?

Ini tentang diriku, juga tentang kedua orang tuaku. Aku yang semakin hari merasa semakin dewasa, seringkali lupa dengan orang tua yang semakin hari semakin tua. Aku yang semakin hari semakin merasa mampu hidup berkeluarga, seringkali lupa dengan orang tua yang semakin hari semakin merasa takut kehilangan putrinya.

Menjadi kebiasaan umi (ibu) untuk bercerita panjang lebar tentang apa-apa yang beliau rasakan, termasuk tentang kehidupan beliau nanti ketika aku, kakakku dan adikku sudah berkeluarga. Meninggalkan umi dan abi (ayah) untuk membina rumah tangga, menapaki jenjang kehidupan yang lebih tinggi layaknya orang-orang pada umumnya. Memperoleh status yang kian menumpuk dari masa ke masa.

Dan, tiap jenjang kehidupan selalu ada konsekuensinya. Selalu mengambil satu bahagia, kemudian menggantinya dengan bahagia lain.

Umi sering berujar "nanti umi tinggal sama siapa kalo udah pada berkeluarga?" atau "nanti calonnya jangan jauh-jauh ya, cari yang di jogja aja, paling jauh solo" atau "umi mau bikin yayasan panti jompo ah, biar para orang tua yang udah sepuh punya temen buat cerita-cerita".

Biasanya, kalimat-kalimat tersebut kutanggapi dengan 2 cara:
Pertama, kujawab dengan nada ceria bahwa beliau tak perlu khawatir, kelak aku akan sering mengunjungi beliau, menemani masa tua beliau hingga beliau tak merasa kesepian.
Yang kedua, kujawab dengan.......diam.

Menjadi kebiasaanku untuk mencoba memahami kondisi dari dua sisi. Ini bisa jadi baik, bisa jadi buruk. Baik karena kebiasaan ini menjadi "rem" bagiku untuk tidak memaksakan kehendak pribadiku. Buruk karena kebiasaan ini membuat otakku lelah memikirkan bagaimana caranya agar orang lain bisa bahagia dan tidak kesusahan oleh sebab kehendak pribadiku. Susah, ya? Serasa punya dua sisi pikiran yang saling berseberangan.

Dari dulu, menikah di usia muda menjadi impianku. Bukan karena emosi sesaat maupun ikut-ikutan trend, tapi murni impianku. Berkeluarga di usia muda (umur 22 atau 23 tahun) bagiku akan sangat memudahkanku sebagai seorang istri, juga sebagai seorang ibu nantinya. Menjalani masa-masa pacaran dengan suami setelah menikah, bersama-sama mengusahakan kesejahteraan keluarga, hingga mengganjilkan bilangan dengan hadirnya malaikat kecil di pangkuan.
Pun terhadap calon imamku, tak ada keinginanku untuk memberi syarat harus punya ini, punya itu, atau fisiknya harus begini dan begitu. Bagiku, "punya ini, punya itu" adalah urusan duniawi. Semua yang bersifat dunia bisa dicari, bisa diusahakan, asalkan ada kemauan yang besar. Apalagi fisik yang begini dan begitu. Fisik tak ubahnya casing yang hanya tampak kasat mata, jauh lebih rendah nilainya dari onderdil berupa keimanan dan kepribadian.

Simpel? Ya, sesimpel itu jika niat menikah merujuk pada satu kata: ibadah.

Banyak komentar dari teman-teman seumuran saat membicarakan topik ini. Masih muda emosi masih labil jadi rawan cerai, masih muda udah nikah pasti jadi nggak bebas kemana-kemana, masih muda udah nikah nanti mau makan apa, dan banyak komentar lainnya.
Yah, orang bebas berkomentar, sama halnya bagiku yang bebas menentukan pilihan.

Tapi, di saat orang tua yang mempertanyakan bagaimana kehidupan mereka setelah nanti kutinggal berkeluarga, rasa-rasanya impian menikah di usia muda menguap seketika. Aku masih ingin membersamai mereka, melihat mereka tertawa, menjadi pendengar setia segala cerita gembira dan keluh kesah tentang rekan kantor yang menjengkelkan, menjadi segalanya yang mereka mau.

Ah, mungkin aku hanya terlalu berlebihan menanggapi proses kehidupan.
Mungkin juga ini pertanda aku harus menyerahkan segalanya pada waktu: Mengalir, tanpa pikiran-pikiran yang hanya membuatku berantakan.

Selasa, 20 Agustus 2013

Perindu


Pada ketinggian langit yang bertuankan Tuhan
Ribuan kata kugantungkan
Di tiap gulungan awan yang kau lihat saat fajar datang

Pada kedalaman laut yang bertuankan Tuhan
Ribuan kata kutenggelamkan
Di tiap buih yang menyeruak ke permukaan

Tengok pula sejenak ke belakang
Ribuan kata kujejalkan
Di tiap jejak yang kau pijak menuju entah kemana

Aku, seorang perindu
Yang sebegitu takut mengucap rindu


"Roger"

Masih berlatar KKN, hari ke-49. Well, kali ini aku akan bercerita tentang seorang bocil (bocah kecil) di lokasi KKN. Namanya Wanto, kelas 5 SD (atau 6? entahlah).
Kenapa bocil satu ini sampai kutulis disini? Simply because I don't have a special thing to tell, haha.

Jadi, Wanto ini menjadi Bolang (Bocah Petualang) saat tim variety show Si Bolang menyambangi desa wisata Ketenger. Saat itu, Wanto berkeliling menjelajahi tempat-tempat alam yang indah di Ketenger untuk keperluan syuting dan ia dibayar tiga ratus ribu rupiah. Saat salah seorang teman KKN bertanya untuk apa uang yang didapatnya itu, ia menjawab "buat main PS". Yah, namanya juga bocil.

Menurutku, sebagai anak SD, pemikiran Wanto bisa dibilang cukup dewasa. Diskusi dengan Wanto lebih "nyambung" dibanding dengan bocil-bocil lain disini. Dia juga sering memberikan informasi penting mengenai desa Ketenger. Helpful.

Tapi tapi tapi, akhir-akhir ini ia menjadi sangat menyebalkan. Diskusi sudah tak se-menyenangkan sebelumnya, dan yang lebih menyebalkan lagi, sikapnya memburuk. Datang ke pondokan KKN tak kenal waktu, dari pagi hingga malam. Pernah beberapa kali ibunya datang ke pondokan dan menyuruhnya pulang. Juga, ia "nyolot" dengan kami anak-anak KKN. Juga, seringkali ia nimbrung makan di pondokan. Fyi, untuk keperluan makan, kita harus pandai-pandai memutar otak agar keuangan kas cukup untuk memenuhi kebutuhan pondokan seperti makan dan peralatan pondokan, juga untuk keperluan program KKN. Hmmm, fyi lagi, aku bendaharanya :|

Jadi, untuk mengatasi bocil satu ini yang kerap sembarangan nyomotin makanan di pondokan sampai beberapa teman KKN nggak kebagian, jadilah kita menamai bocil ini dengan sebutan "roger". Biasanya, kata "roger" digunakan untuk berkomunikasi antar dua orang. Hasil googling dari http://1014rapi.wordpress.com/2012/04/16/arti-kata-roger-dan-asal-muasalnya/, aku menemukan bahwa "roger" diartikan sebagai “I have received all of the last transmission” dalam terminologi komunikasi radio. Dan untuk keperluan komunikasi di pondokan KKN, kami mengartikannya sebagai "I have received the information that 'that kid' is coming". Hahaha.

Jadi, mulai sekarang, tiap ada yang berkata "roger!" kita akan bergegas ke dapur mengamankan makanan.....di atas lemari makanan. Yeah, mencegah lebih baik daripada mengobati, kan? :))))