Pages

Senin, 02 September 2013

Growing Up and Growing Old


Impian. Kenyataan.
Apakah keduanya bermusuhan?

Ini tentang diriku, juga tentang kedua orang tuaku. Aku yang semakin hari merasa semakin dewasa, seringkali lupa dengan orang tua yang semakin hari semakin tua. Aku yang semakin hari semakin merasa mampu hidup berkeluarga, seringkali lupa dengan orang tua yang semakin hari semakin merasa takut kehilangan putrinya.

Menjadi kebiasaan umi (ibu) untuk bercerita panjang lebar tentang apa-apa yang beliau rasakan, termasuk tentang kehidupan beliau nanti ketika aku, kakakku dan adikku sudah berkeluarga. Meninggalkan umi dan abi (ayah) untuk membina rumah tangga, menapaki jenjang kehidupan yang lebih tinggi layaknya orang-orang pada umumnya. Memperoleh status yang kian menumpuk dari masa ke masa.

Dan, tiap jenjang kehidupan selalu ada konsekuensinya. Selalu mengambil satu bahagia, kemudian menggantinya dengan bahagia lain.

Umi sering berujar "nanti umi tinggal sama siapa kalo udah pada berkeluarga?" atau "nanti calonnya jangan jauh-jauh ya, cari yang di jogja aja, paling jauh solo" atau "umi mau bikin yayasan panti jompo ah, biar para orang tua yang udah sepuh punya temen buat cerita-cerita".

Biasanya, kalimat-kalimat tersebut kutanggapi dengan 2 cara:
Pertama, kujawab dengan nada ceria bahwa beliau tak perlu khawatir, kelak aku akan sering mengunjungi beliau, menemani masa tua beliau hingga beliau tak merasa kesepian.
Yang kedua, kujawab dengan.......diam.

Menjadi kebiasaanku untuk mencoba memahami kondisi dari dua sisi. Ini bisa jadi baik, bisa jadi buruk. Baik karena kebiasaan ini menjadi "rem" bagiku untuk tidak memaksakan kehendak pribadiku. Buruk karena kebiasaan ini membuat otakku lelah memikirkan bagaimana caranya agar orang lain bisa bahagia dan tidak kesusahan oleh sebab kehendak pribadiku. Susah, ya? Serasa punya dua sisi pikiran yang saling berseberangan.

Dari dulu, menikah di usia muda menjadi impianku. Bukan karena emosi sesaat maupun ikut-ikutan trend, tapi murni impianku. Berkeluarga di usia muda (umur 22 atau 23 tahun) bagiku akan sangat memudahkanku sebagai seorang istri, juga sebagai seorang ibu nantinya. Menjalani masa-masa pacaran dengan suami setelah menikah, bersama-sama mengusahakan kesejahteraan keluarga, hingga mengganjilkan bilangan dengan hadirnya malaikat kecil di pangkuan.
Pun terhadap calon imamku, tak ada keinginanku untuk memberi syarat harus punya ini, punya itu, atau fisiknya harus begini dan begitu. Bagiku, "punya ini, punya itu" adalah urusan duniawi. Semua yang bersifat dunia bisa dicari, bisa diusahakan, asalkan ada kemauan yang besar. Apalagi fisik yang begini dan begitu. Fisik tak ubahnya casing yang hanya tampak kasat mata, jauh lebih rendah nilainya dari onderdil berupa keimanan dan kepribadian.

Simpel? Ya, sesimpel itu jika niat menikah merujuk pada satu kata: ibadah.

Banyak komentar dari teman-teman seumuran saat membicarakan topik ini. Masih muda emosi masih labil jadi rawan cerai, masih muda udah nikah pasti jadi nggak bebas kemana-kemana, masih muda udah nikah nanti mau makan apa, dan banyak komentar lainnya.
Yah, orang bebas berkomentar, sama halnya bagiku yang bebas menentukan pilihan.

Tapi, di saat orang tua yang mempertanyakan bagaimana kehidupan mereka setelah nanti kutinggal berkeluarga, rasa-rasanya impian menikah di usia muda menguap seketika. Aku masih ingin membersamai mereka, melihat mereka tertawa, menjadi pendengar setia segala cerita gembira dan keluh kesah tentang rekan kantor yang menjengkelkan, menjadi segalanya yang mereka mau.

Ah, mungkin aku hanya terlalu berlebihan menanggapi proses kehidupan.
Mungkin juga ini pertanda aku harus menyerahkan segalanya pada waktu: Mengalir, tanpa pikiran-pikiran yang hanya membuatku berantakan.